Kondisi
perekonomian di Indonesia kian membaik seiring laju pertumbuhan ekonomi global.
Hal ini diperkuat sejalan adanya perbaikan ekonomi global ditengah berlanjutnya
proses konsolidasi ekonomi domestik mengarah kepada kondisi yang lebih
seimbang. Perkembangan terkini menunjukkan membaiknya kondisi ekonomi global
dimotori oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta indikasi pemulihan ekonomi
di kawasan Eropa, China, dan India.
Tahun 2014 merupakan tahun
pemulihan dan stabilisasi ekonomi akibat fenomena kebangkrutan Lehman Brothers
pada tahun 2008 serta krisis Eropa di Yunani pada tahun 2012. Untuk mengatasi
fenomena krisis yang menimbulkan kepanikan pasar finansial global khususnya di
Eropa dan AS tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan ekonomi yang
tidak lazim yakni kebijakan Quantitative
Easing. QE
adalah salah satu kebijakan
moneter yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara guna meningkatkan jumlah
uang beredar (money supply) di pasar. Kebijakan ini
dilakukan antara lain dengan memangkas bunga menjadi 0,25% bahkan 0,1%,
mencetak uang lebih banyak, serta dengan menyuntikkan likuiditas kepada Emerging Markets (EM). Kebijakan QE tersebut
menyebabkan kelebihan likuiditas yang membuat pasar Amerika tidak dapat
menyerap uang yang beredar. Hal tersebut membuat para investor lebih tertarik
untuk mengalihkan dananya dari negara maju ke negara Emerging
Markets (EM) sehingga menimbulkan euforia sementara kepada negara-negara EM
yang kebanyakan adalah negara berkembang.
Menengok kondisi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan menurun
dibandingkan lima tahun lalu, serta kekhawatiran akan kondisi masa depan, maka
perancangan sistematis pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami kebingungan arah
pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya
Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat perencanaan
negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri alat-alat berat
awal mulanya dibangun sehingga sesuai prediksi, akhirnya industri elektronik
bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui sosial budaya, yaitu
budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya
budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth Mark).
Kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut memang membawa dampak signifikan bagi perekonomian
Indonesia. Tahun 2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di
Asia serta nomor 2 di dunia setelah Argentina dan Peso.
Setelah sejenak kita melihat perbandingan pembangunan ekonomi
Indonesia dengan negara lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja
yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi
defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI, bagaimanapun
juga, ekspor Indonesia tidak akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di
luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh prospektus
revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya
larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja
membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didapatkan
bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit
sebesar 0,2%.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI
adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan
konsumsi barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan
atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada
PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas
barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan
tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%.
Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang
tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan nilai tukar
rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah berkisar di antara level Rp11.000
hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level Rp8.500,-.
Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level Rp13.000 pada
akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi masyakat juga
dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan BI adalah penurunan
jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan prediksi pertumbuhan kredit yang
digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun
2014 ini, BI menurunkan prediksi pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%,
padahal sebelumnya sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar
juga disebabkan oleh berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative
Easing.
Selain itu, kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun
2014 ini tentu saja mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia.
Diperkirakan akibat meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin
langka sehingga akan terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi
tersebut akan turun ke base 5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa faktor utama yang memperburuk perekonomian Indonesia
adalah belum jelasnya aturan mengenai daftar negara yang boleh dan tidak boleh
berinvestasi di Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan untuk
berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta
rumah kedua dst. membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit
melamban. Adanya kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya
tenaga kerja yang berpindah ke kota serta memicu relokasi pabrik-pabrik di
daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami
kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat
akibat meningkatnya pengangguran.
Akan tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi Indonesia sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun 2014, diharapkan diakhir
tahun 2014 perekonomian Indonesia akan membaik. Setidaknya hal tersebut
tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis
positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta
membawa harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di
Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat dihindari. Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli
masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus
untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi
daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan adanya wacana subsidi BBM
yang tetap sehingga risiko fiskal menjadi rendah, mampu menambah rating
Indonesia di mata investor. Akhirnya, dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah
dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya, analis
ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat
0,2% dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8% dari angka
5,6%. Salah satu penyebab utama peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2%
tersebut adalah adanya katalis Pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya konsumsi
besar-besaran.
Sumber: